Dari Warga Digital ke Warga Negara Digital: Merekonstruksi Partisipasi Politik di Era Siber
Oleh: Muhammad Toyib
(Ketua KPU Kota Malang)
Pada Pilkada Kota Malang 2024, lebih dari 70% calon pemilih muda mengakses informasi politik utama mereka melalui media sosial, bukan melalui surat kabar atau pertemuan langsung. Fenomena ini bukan sekadar perubahan kanal, tetapi pertanda lahirnya sebuah ranah publik baru: ruang digital. Namun, di tengah gelombang informasi yang tak terbendung, muncul pertanyaan kritis: apakah keterhubungan digital ini telah bertransformasi menjadi partisipasi politik yang bermakna? Esai ini berargumen bahwa kewarganegaraan digital (digital citizenship) menjadi prasyarat sosiologis yang krusial untuk mentransformasi partisipasi politik dari sekadar aktivitas di ruang virtual menjadi aksi kolektif yang deliberatif dan substantif dalam demokrasi. Tanpanya, partisipasi hanya akan menjadi "clicktivism" yang dangkal dan rentan dimanipulasi.
Secara sosiologis, konsep partisipasi politik telah mengalami disrupsi. Teori klasik dari Almond dan Verba yang menitikberatkan pada partisipasi konvensional (seperti pemungutan suara dan menghadiri rally) harus berhadapan dengan realitas baru di mana "like," "share," dan "thread" Twitter 'X' telah menjadi alat politik yang powerful. Namun, di sinilah letak paradoksnya. Data KPU Kota Malang menunjukkan bahwa meski keterlibatan di media sosial tinggi, tingkat ketidakpercayaan terhadap informasi yang beredar juga mencapai lebih dari 60%. Ini mengindikasikan sebuah jurang antara keberadaan di ruang digital dan kapasitas untuk berperan sebagai warga negara digital yang kritis.
Kewarganegaraan digital, sebagaimana dirumuskan oleh Ribble & Bailey (2007), tidak sekadar tentang akses teknologi, tetapi mencakup norma-norma perilaku yang bertanggung jawab. Dalam konteks politik, ini terwujud dalam tiga elemen utama:
Literasi Digital Kritis: Kemampuan untuk memverifikasi informasi, mengenali hoaks, dan memahami bias algoritma. Sebagai contoh, selama Pemilu 2024, kami di KPU Kota Malang menemukan puluhan akun bot yang secara sistematis menyebarkan narasi polarisasi. Warga negara digital yang melek akan mampu mengidentifikasi dan menangkalnya, sehingga partisipasinya tidak didasarkan pada informasi yang keliru.
Partisipasi yang Deliberatif: Ruang digital berpotensi menjadi public sphere ala Habermas, tempat pertukaran argumen rasional. Sayangnya, yang sering terjadi adalah ruang gema (echo chambers) di mana warga hanya berinteraksi dengan pandangan yang sama. Kewarganegaraan digital mendorong keterlibatan yang menghargai perbedaan dan membangun dialog, bukan sekadar monolog atau cacian.
Agency dan Accountability: Partisipasi harus bermuara pada tindakan nyata dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebuah petisi online yang viral adalah partisipasi, tetapi mengawal tuntutan dalam petisi tersebut hingga menjadi perbincangan dalam musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) Kota Malang adalah bentuk partisipasi yang lebih substantif. Di sinilah peran institusi seperti KPU untuk menjembatani aspirasi virtual dengan proses politik formal.
Dari perspektif sosiologi, transisi ini adalah sebuah proses institusionalisasi di mana norma-norma baru kewarganegaraan digital sedang dibentuk dan diperjuangkan. Konflik antara budaya politik lama yang hierarkis dan tertutup dengan budaya digital yang partisipatif dan transparan adalah medan pertarungan yang menentukan wajah demokrasi Indonesia ke depan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa gelombang digitalisasi tidak serta merta melahirkan demokrasi yang lebih sehat. Ia hanya menyediakan alatnya. Yang menentukan adalah kapasitas para penggunanya—yaitu, kita semua—untuk bertransformasi dari sekadar netizen menjadi digital citizen. Partisipasi politik yang berkualitas di era digital bukan diukur dari jumlah "share," tetapi dari kedalaman deliberasi, ketajaman analisis, dan keberlanjutan aksi kolektif yang dihasilkan. Sebagai penutup, tantangan terbesar kita bukan lagi pada masalah akses teknologi, melainkan pada pembangunan infrastruktur sosial berupa etika, literasi, dan norma kewarganegaraan digital. Inilah tugas bersama, antara akademisi, penyelenggara negara, dan seluruh elemen masyarakat, untuk memastikan bahwa ruang digital menjadi taman demokrasi, bukan medan perang yang tak beraturan.
Selengkapnya